Oke mengklaim Lutfi sebelumnya memang sudah menyiapkan bukti yang cukup agar mafia itu diungkap. Namun, niat itu diurungkan karena penegak hukum menilai bukti yang diberikan Kementerian Perdagangan belum cukup kuat.
“Ternyata dari sisi penegak hukum bukti-bukti tersebut belum mendukung untuk dilakukan,” katanya.
Kemudian, Lutfi juga tersandung aturan. Oke mengklaim pihaknya sudah menemukan indikasi kuat terjadi aksi terstruktur yang dilakukan mafia minyak goreng itu. Salah satunya, penimbunan minyak goreng.
Tapi, dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, definisi penimbunan harus dilakukan selama 3 bulan.
“Kalau baru seminggu nimbun engga bisa dikategorikan penimbunan, enggak kuat jadinya kita. Orang terbukti sudah ketemu, ada beberapa perusahaan yang sudah kami sanksi. Tapi berbalik ke kami, ternyata enggak cukup bukti karena unsur hukum tidak terpenuhi,” ujar dia.
Oke menambahkan bahwa kata ‘mafia’ dipakai Lutfi agar lebih komunikatif kepada masyarakat. Tapi yang dimaksud Lutfi, lanjut dia, adalah pemain nakal yang mengganggu distribusi minyak goreng ke warga.
Direktur Eksekutif Institute dor Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai sebetulnya sudah ada indikasi kuat di pasar adanya pelaku atau oknum yang memanfaatkan situasi di tengah kebijakan tak tepat Kemendag.
“Harga yang relatif jauh antar kemasan dan curah dan harga masing-masing rantai pasok cukup jauh sehingga dimanfaatkan oleh oknum untuk menimbun, menjual tidak sesuai HET, ” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (30/3).
Namun, Tauhid melihat tak mudah untuk menyebut mereka mafia karena harus memuaskan indikator seperti beberapa pihak mengkoordinasikan dari hulu ke hilir, menentukan kapan harga naik atau turun bersamaan, atau memanfaatkan jalur distribusi secara bersama untuk menimbun.
“Indikasi itu kalau saya lihat mungkin bukti kurang cukup,” imbuhnya.
Tauhid berpendapat minyak goreng di pasar juga diperparah oleh aksi beli panik masyarakat untuk menyetok di rumah, sehingga stok ludes di pasar.
Tauhid mengaku mendukung Kemendag untuk mengungkap nama para mafia tersebut agar ada kejelasan. Namun, ia juga mengingatkan agar bukti yang disiapkan cukup untuk menyeret mereka ke meja hijau, jangan sampai malah pemerintah yang kalah.
Dengan cara apapun itu, entah menangkap para mafia atau cara lainnya, yang jelas polemik minyak goreng mesti segera ditangani. Tauhid memproyeksikan harga yang tinggi ditambah permintaan yang melonjak selama puasa dan Lebaran akan menyumbang inflasi komponen makanan hingga 4 persen.
Selain inflasi, ia melihat dampak lain yang ditimbulkan adalah membengkaknya beban subisidi pemerintah karena penerapan HET yang berlarut.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai terbukti atau tidaknya dugaan keberadaan mafia minyak goreng tak mengubah inti permasalahan, yaitu masalah kelangkaan dan harga harus dibereskan.
“Kalau ketahuan mafianya tapi tetap kondisinya seperti sekarang yang berarti kan bukan di situ masalahnya berarti,” kata dia.
Menurut Faisal, dalang masalah ada di sepanjang jalur distribusi karena banyaknya spekulan. “Kalau pasokan kan cukup, produksi juga cukup, tapi enggak sampai ke konsumen. Berarti yang salah sepanjang mata rantai produsen ke konsumennya, dari agennya kah, retailer-nya, kita enggak tahu,” terangnya.
Untuk itu, ia mendesak pemerintah untuk segera menangani karut-marut minyak goreng mengingat puasa tinggal beberapa hari lagi.
Jika masih berlarut, Faisal khawatir masyarakat menengah ke bawah akan kesusahan untuk memenuhi kebutuhannya, tak seperti kelas menengah dan atas yang masih bisa membeli dengan harga mahal.
“Kemendag harus serius membuat mekanisme tracing dari mata rantai produsen sampai konsumen. Kerja sama dengan berbagai piahk bukan hanya aparat, tapi asosiasi produsen, asosiasi distributor, sampai asosiasi pedagang,” tutupnya.
Sumber berita : CNNIndonesia.com