Indikator kesejahteraan petani adalah harga Tandan Buah Segar (TBS) yang diterima oleh petani sawit. Untuk memastikan harga yang diterima oleh petani atas penjualan TBS nya, petani dilindungi oleh Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Harga Pembelian TBS Pekebun dan turunannya dalam Peraturan Gubernur. Salah satu pedoman dalam penentuan harga TBS Pekebun tersebut adalah persentase rendemen TBS Petani sawit.
Menurut Peraturan Pemerintah, uji rendemen wajib dilakukan setiap 5 tahun, dalam hal ini Dinas Perkebunan (Disbun) Riau menyadari bahwa terakhir melakukan uji rendemen tahun 2013. “Karenanya kami wajib melakukan “tera ulang” rendemen TBS Petani,” kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Ir. H. Zulfadli saat memberikan sambutan di rapat Pembahasan Tabel Hasil Uji Rendemen dan Pembentukan Tim Penetapan Harga TBS kelapa sawit (25/3) di aula rapat Dinas Perkebunan Provinsi Riau.
Rapat ini dihadiri oleh 10 Dinas Perkebunan Kabupaten Kota se Riau, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, perwakilan perusahaan seperti PTPN V, Sinarmas, Astra, Asian Agri, Citra Riau Sarana, Musim Mas, Asosiasi Sawit seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Riau dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Pola Inti-Rakyat (ASPEK-PIR) Riau.
Zulfadli menjelaskan, bahwa sesuai amanah Permentan 01 tahun 2018 dan Peraturan Gubernur Riau (Pergub) Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tatacara Penetapan Harga Pembelian TBS Produksi Pekebun di Provinsi Riau (Tataniaga TBS), Dinas Perkebunan Riau telah melakukan uji rendemen TBS Petani sawit bekerjasama dengan PPKS Medan dan dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dalam arahannya, Kadisbun Provinsi Riau juga berharap agar pertemuan kali ini membuahkan hasil kesepakatan yang akan berguna sebagai rujukan penetapan harga TBS Petani setiap hari Senin.
Diketahui bahwa hasil kajian uji rendemen TBS petani sawit sudah dilakukan oleh PPKS Medan di seluruh kabupaten kota di Riau, dan beberapa waktu lalu sudah dilakukan rapat persentase oleh PPKS Medan bersama APKASINDO, ASPEK PIR dan GAPKI Riau.
Dalam rapat tersebut, GAPKI dan perusahaan Anggota Tim Penetapan harga TBS Provinsi Riau tidak menerima hasil uji rendemen TBS petani sawit yang secara umum sudah naik jika dibandingkan hasil uji rendemen tahun 2013.
Untuk itu, kemarin (25/3) kembali dilakukan rapat yang sama, dengan focus mencapai kesepakatan tabel rendemen TBS petani sawit sesuai hasil riset uji rendemen PPKS Medan.
Rapat dimulai tepat pukul 09.00 WIB dan dibuka dengan paparan hasil uji rendemen TBS petani oleh Dr. Donald Siahaan, M.Sc, peneliti senior dari PPKS Medan. Dr. Donald menjelaskan bahwa sudah terjadi pergeseran secara signifikan terhadap teknik budidaya kelapa sawit petani swadaya. Hal ini dibuktikan dengan tidak jauh bedanya rendemen dari TBS petani swadaya dengan petani plasma, khususnya pada tanaman umur 4-9 tahun. Donald mengatakan hal ini terutama disebabkan karena sudah tingginya pemahaman petani swadaya akan pentingnya bibit unggul dan sudah diterapkannya good agricultural practices (GAP).
Selanjutnya, diberikan kesempatan menanggapi kepada asosiasi petani yang hadir pada acara tersebut, yang dimulai dari KH Suher selaku Ketua APKASINDO Riau. KH Suher menyampaikan rasa terimakasih bahwa hasil penelitian PPKS yang dinanti 512 ribu keluarga petani sawit Riau akhirnya rampung. Lebih lanjut Suher menjabarkan bahwa hampir 10 tahun petani menantikan ini dan di zaman Gubernur Riau Pak Syamsuar lah hal ini baru terwujud.
Suher menekankan bahwa uji rendemen ini adalah amanah Permentan 01/2018 dan Pergub Tataniaga, jadi semua pihak harus menerima hasil uji yang dilakukan sekaliber PPKS.
“Sejujurnya kami sangat terkejut dengan tabel rendemen yang disampaikan oleh PPKS Medan, karena ternyata jauh dari apa yang pernah kami uji secara mandiri, yaitu rerata 24-25%. Terus terang secara pribadi, melihat tabel rendemen PPKS ini saya tidak terima, jauh dibawah harapan,” ujar KH Suher.
Namun demikian karena hasil uji ini adalah rata-rata secara keseluruhan petani sawit di Riau, maka petani sawit, terkhusus plasma Asian Agri dan Sinarmas bersedia menerima angka pada tabel tersebut menurut KH Suher.
“Apakah bapak ibu dari GAPKI tidak melihat kemajuan dari petani sawit sejak 2013-2021? Bibit yang kami pakai adalah bibit-bibit unggul, baik dari PPKS, Sinarmas, Asian Agri, Sriwijaya, terkhusus sejak 10 tahun lalu. Semua brosur dari bahan tanaman tersebut (kecambah) mencantumkan potensi rendemen yang cukup tinggi, yaitu rata-rata 26%, kok malah setelah hasil TBS kami dari bibit yang bapak/ibu jual tersebut menghasilkan rendemen 22-24%, malah bapak/ibu dari GAPKI tidak terima? Seharusnya kami balek bertanya, kenapa rendemen di brosur kecambah (26%) tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan yang paling tinggi hanya 22,33% ?,” pinta Suher kepada perwakilan perusahaan.
Suher mengakui adanya perbedaan istilah antara petani dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Jika petani mengatakan jual TBS, sementara PKS mengatakan membeli rendemen. Maka itu diperlukan uji rendemen ini untuk merangkai kesepakatan berapa sesungguhnya rendemen petani saat ini setelah terakhir dilakukan uji tahun 2013. “Masak bapak/ibu dari GAPKI dan perwakilan perusahaan tidak percaya PPKS?,” tegas Suher.
Perwakilan dari ASPEK PIR, Triantana, memberikan tanggapan atas kisruh hasil uji rendemen ini dengan mengajak agar semua pihak menyikapi secara dewasa, karena ada beberapa alasan kenaikan rendemen TBS petani.
Selanjutnya, dikatakannya bahwa “jika membedakan wilayah rendemen, ini akan berbahaya karena lokasi TBS yang rendemen rendah misalnya diwilayah barat akan berpindah ke wilayah timur, sehingga akan terjadi kekosongan TBS diwilayah rendah rendemen,” ujar Triantana.
Lebih lanjut dia mengusulkan agar tetap memakai rendemen rata-rata. “Jangan kita terlampau idealis tapi malah merugikan semua pihak, hasil penelitian PPKS harus kita terima secara legowo. Wajar kalau ada perubahan ke lebih baik untuk rendemen petani,” ujar Triantana.
Menanggapi perbedaan persepsi antara GAPKI dengan asosiasi petani sawit perihal hasil uji rendemen yang dilakukan PPKS Medan, Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, MP.,CIMA, yang sengaja diundang hadir pada rapat di Dinas Perkebunan Riau, mengajak semua kembali kepada dasar peraturan pemerintah.
“Uji rendemen adalah amanah Permentan 01 tahun 2018 yang diteruskan melalui Pergubri tentang Tataniaga TBS Nomor 77 Tahun 2020, karenanya kita harus menghormati hasil uji rendemen ini, tanpa kecuali dari semua yang hadiri disini,” kata Gulat.
Selanjutnya, Gulat menyampaikan bahwa seharusnya GAPKI memberikan apresiasi kepada petani sawit khususnya petani sawit swadaya karena berhasil berbenah diri dari yang dulunya fokus ke kuantitas (berat) namun pada 10 tahun terakhir sudah beralih kepada kualitas (rendemen).
Hal ini dapat dilihat dari tabel rendemen yang dihasilkan oleh PPKS bahwa terjadi kenaikan rendemen dibandingkan rujukan rendemen sebelumnya, terkhusus di umur 4-9 tahun rerata sebesar 1,67% Petani Plasma dan 0,93% Petani Swadaya. Namun untuk rendemen umur 10-20 tahun tidak menunjukkan kenaikan rendemen TBS petani secara signifikan.
Fenomena ini sesuai dengan hasil survei APKASINDO kepada produsen kecambah, terkhusus PPKS, bahwa 60-70% yang memesan kecambah ke PPKS adalah petani sawit.
Demikian juga dari produsen kecambah lainnya yang menunjukkan data meningkatnya pembelian kecambah sawit unggul pada 10 tahun terakhir dari kalangan petani sawit. Data ini menunjukan korelasi yang sangat kuat antara kenaikan rendemen TBS petani hasil uji PPKS, terkhusus kelompok umur 4-9 tahun, dengan persentase pembelian kecambah oleh petani pada 10 tahun terakhir.
Gulat kembali menekankan penerimaan semua pihak karena uji dilakukan oleh pihak ketiga. “Jika pihak GAPKI Riau tidak menerima hasil Tabel Rendemen TBS Petani sawit hasi riset dari PPKS Medan, tentu ini sangat mengecewakan kami petani,” ujar Gulat.
Dia menerangkan bahwa seharusya GAPKI ikut tersenyum bersama petani karena kemajuan petani yang sudah terlihat oleh data. “Bersyukurlah GAPKI dan semua perusahaan sawit lainnya, karena petani swadaya bisa mengejar petani plasma melalui kesetaraan rendemen TBS. Apalagi sampai saat ini kami petani sawit dari Sabang sampai Merauke percaya bahwa yang terbaik untuk petani adalah cita-cita mulia GAPKI,” seru Gulat.
Lebih lanjut, Gulat mengingatkan bahwa hal ini sesuai dengan harapan Presiden Jokowi yang diucapkan di beberapa acara terkait sawit, dimana semua pihak harus mendorong peningkatan aspek produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat baik melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) maupun dengan menggunakan bibit unggul.
“Semua mata petani sawit se Indonesia, 2,6 juta orang memplototin apa yang sedang dibahas di Riau mengenai rendemen. Jangan Riau menjadi contoh negatif untuk keberlanjutan sawit Indonesia,” ujar Gulat sembari menutup sesi perwakilan petani sawit.
Riau merupakan Provinsi dengan perkebunan sawit terluas, yakni 4,172 juta ha menurut KLHK 2020, dimana 68% nya adalah dikelola petani sawit. Karenanya Riau diberi kesempatan pertama dalam melakukan uji rendemen oleh pemerintah melalui usulan Dinas perkebunan Riau dan disetujui oleh Dirjen Perkebunan.
Selanjutnya, DPP APKASINDO sudah mengusulkan 10 Provinsi APKASINDO ke BPDPKS dan Dirjen Perkebunan untuk melakukan uji rendemen dan selanjutnya menyusul 11 Provinsi APKASINDO lainnya. Adapun 10 provinsi sawit tersebut antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua dan Papua Barat.
Usai tanggapan dari para perwakilan petani sawit, Kabid Pengolahan dan Pemasaran Disbun, Defris Hatmaja, kemudian mempersilahkan GAPKI memberikan tanggapan.
Dari pengamatan awak media sawitsetara.net yang hadir pada rapat tersebut, rapat yang awalnya penuh keterbukaan, berubah mencekam. Hal ini bermula karena bukan tanggapan yang disampaikan oleh GAPKI Riau, tapi hanya membacakan surat satu lembar hasil rapat internal GAPKI (24/3) yang ditandatangani oleh Plt Ketua GAPKI Riau, Lichwan Hartono.
Secara garis besar surat tersebut menolak Hasil Uji Rendemen TBS Petani Sawit (Plasma dan Swadaya) dan dengan tegas mengatakan bahwa jika Disbun Riau tetap menggunakan tabel uji rendemen yang baru yang merupakan hasil riset PPKS Medan dalam penetapan harga TBS Petani setiap hari Senin , maka perusahaan anggota GAPKI tidak akan ikut lagi sebagai Tim Penetapan harga TBS Petani Provinsi Riau kedepannya.
Semua peserta rapat saat itu, Jumat, (25/3) sontak terkejut, terkhusus dari Dinas Perkebunan Riau, 10 Dinas Perkebunan Kabupaten Kota yang hadir dan asosiasi petani sawit.
Karena sudah panjang lebar (hampir 1,5 jam) baik Dinas Perkebunan, PPKS Medan dan Asosiasi sawit, memberi tanggapan atas Tabel rendemen yang menjadi topik rapat, malah GAPKI sama sekali tidak memberikan tanggapan, hanya langsung membacakan satu lembar surat hasil rapat internal GAPKI, dimana surat tersebut tertanggal 24 Maret 2022, yang saat ini ramai diperbincangkan di media sosial.
Sesaat setelah mendengar pembacaan surat GAPKI tersebut (masih sedang dibacakan, red), para asosiasi petani sawit berembuk dengan cepat dan sepakat meninggalkan rapat (walk out) dengan terlebih dahulu meminta izin kepada pimpinan rapat Disbun Provinsi Riau.
Karena hal ini merupakan pelecehan serius terhadap semua peserta rapat, dan mengangkangi jerih payah Dinas Perkebunan, PPKS, Dirjen Perkebunan, BPDP-KS, terkhusus Petani Sawit di Provinsi Riau.
Sikap GAPKI tersebut secara jelas mengingkari dan menolak menjalankan amanah Permentan dan Pergub Riau tentang tataniaga TBS menurut perwakilan APKASINDO dan ASPEK-PIR, ketika dicegat wartawan dipintu keluar ruang rapat. Perwakilan dari APKSINDO yang hadir antara lain KH Suher, H. Karya Muslihat, Ir. H. Kawas Tarigan, Dr. Riyadi Mustofa, SE.,C.EIA, Dr. Mulono, MT dan Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO dan Perwakilan dari ASPEK-PIR diwakili oleh Triantana. (Jur: Tridara Merninda/ Red: Maria Pandiangan)
Sumber berita : sawitsetara.net