Minyak goreng punya peran peting bagi masyarakat Indonesia. Sebab, minyak goreng digunakan memasak berbagai jenis makanan.
Umumnya, minyak goreng yang digunakan di Indonesia adalah yang berasal dari kelapa sawit. Keberadaan minyak goreng ini sendiri tak lepas dari masuknya kelapa sawit ke Indonesia.
Seperti dikutip dari situs Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Minggu (19/3/2022), kelapa sawit masuk di Indonesia berawal dari dari empat benih yang dibawa seseorang bernama Dr DT Pryce ratusan tahun lalu. Empat benih itu terdiri dari 2 benih dari Bourbon-Mauritius, 2 benih dari Amsterdam (jenis Dura) untuk dijadikan sebagai tumbuhan koleksi Kebun Raya Bogor tahun 1848.
Biji kelapa sawit dari Kebun Raya Bogor tersebut, kemudian disebarkan untuk ditanam menjadi tanaman hias (ornamental) sekaligus sebagai percobaan ‘uji lokasi’ baik di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, maupun Sumatera khususnya di perkebunan tembakau Deli.
Pada 1878 pembudidayaan kelapa sawit seluas 0,4 hektar dalam bentuk percobaan dilakukan di distrik Deli oleh Deli Maatschappij. Hasil percobaan seperti yang dilaporkan J Kroll Manajer Deli Maatschappij cukup menggembirakan dan bahkan produksinya lebih baik daripada di Afrika Barat habitat asalnya.
Baca juga:
5 Fakta Kritik Keras ke Pemerintah Setelah HET Minyak Goreng Dicabut
Meski demikian, pengolahan buah masih menjadi kendala pada waktu itu sehingga baru tahun 1911 perusahaan Belgia membuka usaha perkebunan kelapa sawit komersial pertama di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Liput (Aceh).
Tahun 1911 dianggap awal dari perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pada tahun 1911, perusahaan Jerman juga membuka usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu. Langkah investor Belgia dan Jerman tersebut diikuti oleh investor asing lainnya termasuk Belanda dan Inggris.
Tahun 1916 telah ada 19 perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan meningkat menjadi 34 perusahaan pada tahun 1920. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama di Indonesia dibangun di Sungai Liput (1918) kemudian di Tanah Itam Ulu (1922).
Perkembangan industri minyak sawit Indonesia mengalami akselerasi setelah berhasil melakukan penguatan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN I, II, III) dan diterapkan model perkebunan kelapa sawit sinergi antara petani dengan korporasi yang dikenal dengan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau NES (Nucleus Estate and Smallholders). Keberhasilan uji coba NES (NES I-IV) yang dibiayai Bank Dunia, kemudian dikembangkan menjadi berbagai model PIR.
PIR Khusus dan PIR Lokal (1980-1985) dikembangkan dalam rangka mengembangkan ekonomi lokal, PIR Transmigrasi (1986-1995) dikaitkan dengan pengembangan wilayah baru dan PIR Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya (1996) dikaitkan dengan pengembangan koperasi pedesaan. Melalui pola-pola PIR tersebut, perkebunan kelapa sawit berkembang dari Sumatera Utara-Aceh, Riau, Kalimantan dan ke daerah lain di Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari sekitar 300 ribu hektar pada tahun 1980 menjadi sekitar 11,6 juta hektar pada tahun 2016. Sedangkan produksi CPO meningkat dari sekitar 700 ribu ton pada tahun 1980 menjadi 33,5 juta ton pada tahun 2016.
Pertumbuhan produksi CPO Indonesia yang begitu cepat mengubah posisi Indonesia pada pasar minyak sawit dunia. Pada tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser Malaysia menjadi produsen CPO terbesar dunia dan pada tahun 2016 pangsa Indonesia mencapai 545 dari produksi CPO dunia. Sedangkan Malaysia berada di posisi kedua dengan pangsa 32%.
Produksi minyak sawit Indonesia sebagian besar ditujukan untuk ekspor, hanya sekitar 20-25% yang digunakan untuk konsumsi domestik. Konsumsi domestik tersebut, mencakup untuk industri oleofood, oleokimia, detergen/sabun dan biodiesel.
Sejak tahun 2011 Indonesia telah mendorong hilirisasi minyak sawit di dalam negeri melalui tiga jalur hilirisasi yakni jalur hilirisasi industri oleofood, jalur hilirisasi industri oleokimia dan jalur hilirisasi biofuel. Tujuannya selain meningkatkan nilai tambah juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar CPO dunia.
Jalur hilirisasi biofuel dikaitkan dengan kebijakan mandatori biodiesel dari B-5 (2010), B-10 (2012), B-15 (2014) dan B-20 (2016). Jalur ini bertujuan selain untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM fosil juga mengurangi emisi dari BBM fosil.
Sementara, dikutip dari Historia, keterangan mengenai makanan yang dimasak dengan cara menggoreng ditemukan salah satunya melalui Serat Centhini karya bersamapara pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin Sunan Pakubuwono V, dan diselesaikan pada 1814.
Naskah tersebut bercerita mengenai sesaji dalam upacara. Lalu, beragam masakan lauk pauk lengkap dalam acara kendurian upacara pernikahan. Salah satunya masakan berbahan daging. Makanan tersebut ada yang ditusuk, disapit, dibakar, digoreng, direbus, maupun dikukus. Disebut juga sayuran yang ditumis.
Disebutkan pula, kemungkinan orang Nusantara terbiasa menggoreng makanan didorong oleh pemanfaatan buah kelapa sebagai minyak dan masuknya kelapa sawit pada abad ke-19.
Pada awal abad ke-20, minyak kelapa menjadi hasil utama dari budi daya kelapa. Dari keperluan domestik, minyak kelapa kemudian menjadi komoditas perdagangan.
Sumber berita : Detik.com