InfoSAWIT, LABUHAN BATU – Di tengah kritik yang kerap menghantui praktik pertanian kelapa sawit swadaya, khususnya terkait penggunaan bahan kimia yang berlebihan dan pengelolaan lahan yang tak ramah lingkungan, secercah harapan mulai tumbuh dari tanah Sumatera Utara. Sebuah wilayah dengan sejarah lebih dari seabad dalam perkebunan kelapa sawit ini, kini menjadi laboratorium hidup bagi model pertanian yang lebih bersih dan berkelanjutan: pertanian regeneratif.
Dilansir InfoSAWIT dari laman resmi Fortasbi, Senin (19/5/2025), melalui kolaborasi antara FORTASBI dan organisasi pembangunan internasional SNV, serta dukungan dari Unilever, sebuah program transformasi menyasar petani sawit swadaya diluncurkan. Tujuannya jelas- mendorong praktik pengelolaan kebun yang tak hanya berkelanjutan, tetapi juga memperbaiki kondisi tanah dan lingkungan yang telah terdegradasi akibat penggunaan pupuk dan pestisida sintetis selama puluhan tahun.
“Pertanian regeneratif tidak hanya bicara soal keberlanjutan, tapi juga tentang menghidupkan kembali tanah yang telah lama dieksploitasi,” ujar seorang fasilitator dari FORTASBI dalam sebuah pelatihan di Kabupaten Labuhan Batu. “Petani tidak lagi sekadar menjaga, tapi memulihkan.”
Dalam program ini, sebanyak 1.558 petani swadaya telah memperoleh pelatihan tentang Best Management Practices (BMP), prinsip-prinsip High Conservation Value (HCV), dan pendekatan Free, Prior and Informed Consent (FPIC)-sebuah paket pengetahuan lengkap menuju sertifikasi sawit berkelanjutan. Salah satu fokus utama adalah pengurangan penggunaan bahan kimia melalui pemanfaatan residu panen. Pelepah dan tandan kosong kelapa sawit yang dulunya dibakar, kini diolah menjadi kompos atau mulsa.
Penggunaan kompos dari kotoran ternak menjadi praktik yang diunggulkan di Sumatera Utara. Sementara di Tanjung Jabung Barat, Jambi, FORTASBI lebih menekankan pada kompos dari limbah Tandan Kosong (Tankos) kelapa sawit. Di kedua wilayah ini, pendekatan pertanian regeneratif menunjukkan bahwa masa depan sawit bisa lebih hijau- tanpa harus mengorbankan produktivitas.
Lebih dari sekadar metode bertani, pertanian regeneratif menjadi gerakan moral dan ekologis. Ia mengajak petani untuk berpikir jangka panjang, menjaga tanah bukan hanya untuk musim tanam berikutnya, tetapi untuk anak cucu mereka kelak.
“Tanah yang sehat adalah warisan. Kalau sekarang kita bisa panen tanpa harus beli pupuk kimia terus-menerus, itu sudah jadi keuntungan,” ungkap seorang petani peserta program dengan nada optimis.
Dengan tantangan krisis iklim dan degradasi lingkungan yang semakin nyata, inisiatif seperti ini menjadi penting. Di tangan para petani swadaya dan dengan pendampingan yang tepat, Sumatera Utara bisa menjadi teladan baru bagaimana kelapa sawit tetap bisa tumbuh subur-tanpa harus merusak bumi yang menopangnya. (T2)
Sumber : infosawit.com












