Jakarta – Langkah Uni Eropa (UE) menjegal komoditas andalan Indonesia dinilai sebagai tindakan yang tidak masuk akal. UE memperkarakan hilirisasi nikel ke ke World Trade Organization (WTO), sementara sawit hingga kopi dipersulit masuk ke wilayahnya karena alasan lingkungan.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, tindakan UE dilakukan di tengah roses penyelesaian Perundingan Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) yang belum rampung. Padahal proses negosiasi sudah dilakukan 7 tahun ditambah perundingan sebanyak 18 kali.
“Dan dalam rangka mereka melakukan negosiasi dengan Indonesia, dua komoditas andalan kita diganggu di WTO, nikel maupun sawit. Kita masih berkasus dengan Eropa,” katanya dalam seminar ekonomi Perspektif Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi: Menuju Indonesia Emas 2045 di Sport Hall Kolese Kanisius, Jakarta, Sabtu (11/5/2024).
Di sisi lain, produk-produk tersebut justru bisa masuk ke negara Eropa selain anggota UE. Misalnya produk sawit yang menjadi salah satu komponen dalam perjanjian dagang Indonesia dan European Free Trade Association (EFTA), yaitu negara-negara seperti Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia. Perjanjian dagang tersebut bernama Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA).
“Bahkan dengan Eropa, dengan Swiss ada yang namanya EFTA. EFTA ada komponen sawit, dan itu referendum oleh masyarakat Swiss, dan referendumnya lolos. Jadi tidak masuk akal EU masih ganggu kita di nikel maupun di kelapa sawit,” sebut Airlangga.
Ia berpendapat produk nikel saat ini sama dengan rempah-rempah abad ke-16. Saat itu Eropa tidak mempertanyakan proses atau asal usul produk tersebut dihasilkan, tapi kini mereka melakukannya untuk produk nikel, sawit, karet dan lainnya. Oleh karena itu ia menyebut Uni Eropa bersikap irasional.
“Tapi nggak apa-apa karena dari dulu kita dengan Eropa, saya katakan sama mereka, nikel hari ini sama dengan spices abad 16. Jadi kalau abad 16 mereka tidak mempersoalkan traceability, sekarang hari ini mereka menanyakan traceability dari kakao, kopi, karet, sawit, tapi abad 16 mereka tidak tanya spices itu dari mana saja, dan impor kopi itu dari mana,” bebernya.
“Jadi kadang-kadang mereka irasional, Indonesia protes,” imbuhnya.
Airlangga menyebut dirinya sudah bertemu parlemen Uni Eropa dan perwakilan pemerintah membicarakan hal ini. Ia menekan Uni Eropa bersikap adil terhadap Indonesia, dan mengingatkan bahwa regulasi harusnya dibuat untuk mengatur negara sendiri, bukan negara lain.
Sumber Berita : https://finance.detik.com/