Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah tantangan diperkirakan masih akan membayangi komoditas minyak kelapa sawit (CPO) secara jangka pendek maupun jangka panjang. Secara jangka pendek, tantangan diperkirakan datang dari India yang menjadi konsumen terbesar CPO asal Indonesia.
Sebab, India akan membuka akses terhadap minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari yang mendapatkan pembebasan bea masuk, yang dikirim sebelum 31 Maret 2023. Pembukaan akses tersebut akan dilakukan hingga akhir Juni 2023.
Sebelumnya, ratusan ribu kargo berisi minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari tertahan di sejumlah pelabuhan di India. Fenomena itu terjadi karena adanya kesimpang-siuran terkait aturan impor dan pembebasan bea masuk kedua komoditas itu.
Sekadar informasi, pada awal tahun ini, India membatalkan kebijakan impor bebas bea masuk sebesar 2 juta ton untuk minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai untuk periode yang dimulai pada 1 April.
Tetapi kebijakan itu membuat sejumlah kargo dengan total muatan sebesar 90.000 ton di pelabuhan-pelabuhan India. Sementara itu, 180.000 ton lainnya yang sedang dalam perjalanan yang telah dimuat di kapal sebelum batas waktu yang ditentukan juga turut tertahan.
“Beberapa pengiriman yang tertahan di pelabuhan selama beberapa minggu terakhir sekarang dapat masuk ke India,” kata Sandeep Bajoria, CEO Sunvin Group, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (11/5/2023).
Seperti diketahui, minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai merupakan produk pesaing dari CPO di pasar minyak nabati. Kebijakan India seringkali mempengaruhi permintaan terhadap berbagai komoditas minyak nabati tersebut.
Para pengamat pun memperkirakan, kebijakan India membuka kembali akses minyak kedelai dan biji bunga matahari, akan membuat stok minyak nabati di negara tersebut meningkat. Akibatnya, permintaan terhadap minyak nabati lain seperti CPO akan tertekan.
Bahkan para pengamat memperkirakan permintaan CPO dari India akan mengalami penurunan pada Mei. Seperti diketahui, India merupakan salah satu negara tujuan ekspor CPO terbesar dari Indonesia.
Kondisi itu akan memperparah situasi saat ini, di mana impor minyak sawit India telah mengalami penurunan secara signfikan dalam beberapa bulan terkahir. Bahkan pada April lalu, impor CPO India turun 30 persen dari bulan sebelumnya. Hal itu membuat impor CPO India mencapai level terendahnya dalam 14 bulan terakhir.
Namun demikian, terlepas dari fenomena yang terjadi di India tersebut, optimisme tampak masih memayungi komoditas CPO tersebut. Hal itu diperkirakan disebabkan oleh sentimen secara jangka panjang yang akan melanda CPO.
Sebab, harga minyak kelapa sawit diperkirakan mampu naik di atas 4.000 ringgit Malaysia (US$898) per ton pada semester II/2023. Proyeksi itu berpeluang terealisasi di tengah tanda-tanda masalah cuaca di berbagai sentra produksi.
Pedagang veteran Dorab Mistry mengatakan perubahan iklim telah membuat cuaca berbahaya untuk tanaman kelapa sawit. “El Nino akan datang. Ada ruang untuk harga naik, kecuali ada resesi yang dalam dan harga energi turun,” kata Mistry yang juga Direktur Godrej International Ltd, seperti dilansir Bloomberg.
Namun, lanjutnya, minyak berjangka akan berjuang antara 3.400 ringgit dan 4.000 ringgit dalam waktu dekat jika pasokan minyak nabati terus mengalir dari Laut Hitam atau sampai muncul masalah cuaca.
“Jika koridor ekspor Laut Hitam ditutup, prospek menjadi lebih kuat dengan sangat cepat,” katanya dalam slide yang disiapkan untuk Globoil International di Dubai.
Pedagang dan investor memantau iklim global yang semakin bergejolak, dengan beberapa bagian Asia Tenggara saat ini menderita gelombang panas yang brutal.
Potensi El Nino—pola cuaca yang membawa kondisi kering ke kawasan Asia—dapat memengaruhi perkebunan di Indonesia dan Malaysia akhir tahun ini.
Mistry mengatakan kelapa sawit dan minyak nabati lainnya ‘membutuhkan masalah cuaca’ untuk memperketat pasokan.
“Kita memiliki banyak waktu tumbuh dan juga cuaca untuk tanaman utara dan kelapa sawit pada 2023, jadi tidak mungkin bearish,” katanya.
Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat
Dia menambahkan konsumsi India telah pulih dan stok minyak nabati telah terisi kembali. Impor minyak sawit negara itu pada 2022—2023 dapat naik menjadi 8,3 juta ton dari 7,93 juta ton pada tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Indonesia akan menerapkan program pencampuran B35 mulai Juli. Saat ini, Indonesia bahkan tidak menggunakan B30 karena minyak solar jauh lebih murah daripada biodiesel sawit.
Produksi minyak sawit mentah Malaysia dapat mencapai 18,5 juta ton pada 2023, sementara Indonesia dapat memproduksi 1,5 juta ton lebih banyak dari tahun lalu.
RESPONS PENGUSAHA
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Eddy Martono, menyebutkan adanya ancaman El Nino pada tahun ini secara langsung bisa berdampak terhadap CPO.
Namun, dia memprediksi dampak El Nino baru terasa pada tahun depan. “Kalau dampak apabila terjadi El Nino tahun ini baru akan terasa tahun depan,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Eddy beralasan kematangan buah kemungkinan agak terlambat pada tahun ini jika Indonesia dilanda El Nino. Dengan mundurnya kematangan buah sawit, dia menegaskan, dampaknya baru akan terasa pada tahun berikutnya.
Direktur Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga tidak membantah bahwa fenomena El Nino yang memicu uap air tinggi menyebabkan banyak banjir di area perkebunan sawit di Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Namun, dia menegaskan hal itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Alasannya, sebagian area perkebunan kelapa sawit yang berada di 25 propinsi lainnya terkena udara kering, dan sebagian lagi perkebunan sawit masih berproduksi dengan baik.
“Kemungkinan terkena pengurangan produksi sawit akibat EL Nino yang tidak merata ini tidak terlalu signifikan,” kata Sahat, Senin (8/5/2023).
Pada hakikatnya, dia mencatat pohon kelapa sawit bertahan jika curah hujan berada di level 3.000 milimeter per tahun, dan matahari tetap bersinar antara 7 jam—8 jam sehari, dan kelembaban udara bisa berada di sekitar RH 90 persen—93 persen.
Kondisi itu memungkinkan penyerbukan buah sawit berjalan baik. Bila ditambah dengan pemupukan yang baik, imbuhnya, produksi kelapa sawit akan melimpah dengan catatan bahwa benih sawit dari pohon itu merupakan benih unggul.
Author: Yustinus Andri & Sri Mas Sari
Editor : Yustinus Andri DP
Sumber Berita : Bisnis.com