Mengetatnya porsi ekspor CPO bagi para pengusaha di Indonesia diperkirakan memiliki dampak terbatas terhadap prospek harga komoditas itu di pasar global.
Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan terbaru pemerintah Indonesia untuk memangkas jatah ekspor para eksportir minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), berpeluang menjadi sentimen baru bagi para pelaku usaha di sektor tersebut. Namun, apakah kebijakan itu dapat menjadi katalis bagi pergerakan harga CPO?
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali memberlakukan pengurangan rasio kuota hak ekspor CPO mulai 1 Mei 2023.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri menyampaikan, kebijakan itu diambil dalam rangka menjaga kestabilan pasokan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), serta memastikan harga minyak goreng di pasar rakyat tetap stabil dan terjangkau.
“Kedua, menurunkan rasio pengalih dasar untuk kegiatan ekspor, yaitu dari 1:6 menjadi 1:4,” kata Kasan dalam konferensi pers Kebijakan Minyak Goreng Setelah Ramadan dan Idulfitri di Kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (27/4/2023).
Dengan adanya kebijakan tersebut, maka rasio penjualan ke luar negeri dan pemenuhan DMO dipangkas menjadi 1:4. Artinya, produsen hanya bisa melakukan ekspor sebanyak 4 kali dari jumlah pemenuhan pasokan dalam negeri. Sebelumnya, pemerintah memangkas rasio kuota hak ekspor CPO dari 1:8 menjadi 1:6 per 1 Januari 2023.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Firman Hidayat menuturkan, berdasarkan pengalaman pada awal tahun, eksportir memiliki hak ekspor berlebih sehingga terjadi disinsentif untuk melakukan DMO. “Kami tidak ingin ini terjadi, makanya kita perlu lakukan perubahan,” ujarnya.
Salah satu yang diperhitungkan adalah dengan mengurangi rasio ekspor menjadi 1:4 dari sebelumnya 1:6.
Pemerintah memperkirakan hak ekspor yang dimiliki eksportir secara keseluruhan pada akhir tahun kurang lebih mencapai 4 juta ton. Namun demikian, menurut Firman, aktivitas ekspor para eksportir Indonesia tidak akan terlalu terganggu.
“Sebenarnya ekspor tetap akan berjalan sesuai dengan biasanya sesuai dengan permintaan, dan berapapun permintaannya sebenarnya bisa dipenuhi oleh eksportir karena hak ekspor yang mereka miliki saat ini lebih besar,” jelasnya.
Di samping itu, sentimen lain juga bakal muncul dari kondisi cuaca dan kondisi perkebunan di Indonesia.
Seperti diketahui, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksikan terdapat peluang terjadinya kemarau panjang pada tahun ini. Hal itu tak lepas dari prediksi mengenai bakal datangnya fenomena El Nino pada paruh kedua tahun ini.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan, terjadinya kemarau panjang akan mempengaruhi laju produksi sawit nasional. Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono menyebutkan hal tersebut telah menjadi alarm bagi para perusahaan sektor terkait.
“Kalau benar terjadi kemarau panjang pasti akan mempengaruhi produksi, apalagi kalau pemupukan terganggu dengan naiknya harga pupuk. Utamanya petani akan mengurangi pupuk bahkan ada yang tidak melakukan pemupukan, perusahaan juga menurunkan dosis pemupukan, maka ini akan menurunkan produksi,” katanya kepada Bisnis, Rabu (8/3/2023).
Sementara itu, ketika ditemui di Musyawarah Nasional Gapki 2023, Eddy juga menyatakan bahwa penurunan produksi tersebut akan menjadi risiko tersendiri. Apalagi pada tahun ini terdapat potensi kenaikan konsumsi produk CPO, terutama dari dalam negeri lantaran adanya kebijakan penerapan biodiesel B35.
“Ini harus digaungkan, karena konsumsi sudah pasti naik dengan adanya B35, kemudian konsumsi untuk pangan dan oleochemical juga tidak bisa diganggu,” lanjutnya.
Di sisi lain, produksi produk sawit nasional juga berpeluang terganggu oleh faktor lain yakni lambatnya proses peremajaan atau (replanting) di tingkat petani.
Hal itu diamini oleh perusahaan Grup Sinarmas yakni Golden Agri Resources Ltd menyebutkan, proses penanaman kembali pohon kelapa sawit untuk menggantikan tanaman yang tua dan tidak produktif di Indonesia berpotensi membuat pertumbuhan produksi perseroan cenderung terbatas.
Chief Operating Officer Golden Agri Tony Kettinger mengatakan produksi perseroan diprediksi hanya akan naik 500.000 ton hingga 1 juta ton secara year on year (yoy). Jumlah itu setara dengan kenaikan sekitar 1 persen dari produksi tahun lalu.
“Kami tidak melihat peningkatan produksi yang besar. Nyatanya kenaikannya sangat lambat. Itupun jika cuacanya bagus. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa dengan El Nino, kita dapat benar-benar menderita,” kata Kettinger seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (8/3/2023).
Golden Agri melaporkan bahwa proses replanting merupakan pekerjaan besar bagi perseroan. Sebab langkah itu membutuhkan investasi besar dan memengaruhi pendapatan selama beberapa tahun ke depan.
PROSPEK HARGA
Namun demikian, sederet sentimen tersebut diperkirakan tidak terlalu berpengaruh kepada pergerakan harga CPO di pasar global ke depan. Analis komoditas sekaligus Founder Traderindo.com Wahyu Laksono mengatakan menyusutnya pasokan CPO tidak serta merta akan mengerek harga komoditas tersebut.
“Secara supply kebijakan Indonesia logikanya akan memicu harga [CPO] naik. Tapi pada kondisi riilnya apakah dengan supply yang melemah akan memastikan harga naik? Sedangkan demand bisa jadi justru melemah akibat ancaman resesi global,” katanya, Kamis (27/4/2023).
Selain itu, lanjutnya sejumlah sentimen global berpeluang menjadi penekan bagi peregerakan harga CPO. Salah satunya, tren pelemahan harga komoditas secara umum yang sedang terkoreksi seperti batu bara dan minyak mentah.
“Terkait ancaman resesi global dan arus balik dolar AS yang dipicu kelangkaan likuiditas sehingga membuat harga komoditas melemah, Akhirnya pelemahan minyak mentah jelas akan berkorelasi dengan pergerakan harga CPO [yang turut melemah],” jelasnya.
Dia menambahkan, dengan turunnya harga minyak mentah, akan membuat biodiesel yang merupakan hasil campuran dari CPO menjadi kurang kompetitif di pasar.
“CPO yang merupakan bahan baku pembuatan biodiesel bisa menjadi substitusi minyak mentah sehingga ketika harga minyak mentah turun, harga CPO juga ikut turun,” lanjutnya.
Adapun, harga CPO untuk kontrak penjualan Juni 2023 di Bursa Malaysia pada Kamis (27/4/2023) tercatat terkoreksi 2,26 persen ke level 3.679 ringgit Malaysia per ton dari perdagangan hari sebelumnya.
Sementara itu, Wahyu memperkirakan harga CPO pada tahun ini akan berkonsolidasi di level 3.700-3.800 ringgit Malaysia per ton.
Author: Yustinus Andri & Ni Luh Anggela
Editor : Yustinus Andri DP
Sumber Berita : market.bisnis.com